Jumat, 16 September 2016

Satu Pagi Setelah Hari Raya Qurban

Seperti pagi , setiap pagi sekitar pukul 08.00 Wib, sebelum saya berangkat kerja, mbah Bilal datang ke rumah untuk mengambil sampah rumah. Sudah beberapa tahun, semenjak keluarga saya tinggal di komplek pesantren ini, kami mengandalkan urusan sampah kepada mbah Bilal. 

Mbah Bilal sebetulnya adalah salah seorang yang mengabdi di salah satu pesantren yang ada di sekitar tempat saya tinggal. Sudah bertahun-tahun beliau mengabdi di sana. Saat ini usianya mungkin sekitar 70-80an.

Hal yang tidak biasa pada pagi itu adalah karena pagi setelah hari raya idul Adha dengan pembicaraan yang bagi saya cukup mencambuk mulut saya sendiri. Kurang lebih inti pembicaraannya seperti ini.

saya: mbah, sarapan?
mbah: iya mau
saya: sudah nyate mbah?
mbah: sudah
saya: qurban ap mbah?
mbah: sapi
saya: wah hebat mbah, qurban di pesantren?
mbah: iya, lha saya ngumpulin uang merah-merah sampe 30 lembar. saya qurbannya di masjid.
saya: wah mantap, hebat e mbah. uangnya kok banyak?
mbah: lha ya saya tiap bulan ngumpulin uang merah 2 lembar kok.
saya: mbah kok gak qurban dipesantren?
mbah: lha saya kan hidupnya gak cuma di pesantren. jadi ya saya bagi. saya sukanya mau qurban dimana.

#jleb #jleb #jleb

Saya malu seketika.
Mbah bilal yang sudah sepuh (tua) masih dengan semangat berikhtiar bekerja sebagai pengambil sampah dan sesekali ikut sebagai kuli batu, mampu rutin berqurban.
Jika dilogika, berapa rupiah yang beliau dapatkan dengan pekerjaan dan fisik yang seperti itu.
Jika boleh saya jujur, saya tadi bertanya tidak sengaja, sebagai basa-basi sembari saya membungkuskan sarapan untuk beliau, yang biasa dilakukan ibu saya setiap harinya. Tapi ketidaksengajaan saya membuat saya tertampar. Ibroh yang luar biasa bagi saya dari Mbah Bilal.
Allahu 'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar