Jumat, 16 September 2016

Hati yang Selalu Terikat

Tiga belas hari, terhitung dari keberangkatan suami saya ke negeri seberang, demi niatan suci Tholabul 'ilmi, membuat Rindu ini semakin menggebu. Tiada hari terlewati tanpa komunikasi dua insan yang telah disahkan oleh ikatan pernikahan, namun dipisahkan oleh jarak. Video call dan call berbasis internet menjadi andalan komunikasi kami. Perbedaan waktu membuat saya dan suami mengatur quality time. Sesekali, malam hari sebelum saya tidur menjadi, pilihan waktu kami berbagi dan bercerita tentang perjalanan hari kami, yang bagi suami adalah sore hari.

Hati semakin pilu saat melihat suami dengan tubuh yang semakin kurus dan mata yang semakin cekung dengan mata pandanya. Airmata tak bisa terbendung tiap kali video call berlangsung. Saya sering tak kuasa menahan perihnya jarak yang telah memisahkan kami. 'Sabar' adalah kata penghibur mujarrab yang selalu kami gunakan sebagai penguat. Meski saya sendiri, masih mencoba untuk berpura-pura sabar dan kuat menjalani lakon yang seperti ini.

Pernah suatu malam, ketika kami berjumpa  via suara, saya menangis tersedu-sedu. tak tahan menahan rindu yang saya sembunyikan selama terpisah dengan suami. Jujur, saya tak pernah berniat dan tega menangis di depan suami. Tak ingin menggoyahkan tegarnya hati suami melihat tangisan ataupun ratapan dari saya. Karena saya tahu, bahwa rasa ini bukan hanya saya saja yang rasa, tapi suami saya juga. Kalau boleh mengutip bahasa Bapak SBY, mantan presiden RI pada sebuah talkshow, 'Suami mana yang tega meninggalkan isterinya'.

Suatu ketika, mungkin beberapa kali, saat saya atau suami mem'posting foto dan caption di akun kami masing-masing, sebagi pelampiasan rasa rindu kami, beberapa komentar dan respon datang dari beberapa teman. Banyak doa yang pasti, tapi tak jarang pula, guyonan alias joke yang datang dari mereka. Hanya saja, joke itu terkadang bisa menjadi sensi kala hati sedang mati, Hee Hee Hee. 

Misalnya, ada yang bercanda dengan komentar 'Ehem, sehari serasa sewindu karena LDR'. 'isterinya gak diajak mas?' Dari beberapa, ada yang membuat saya berkata, mungkin benar, adalah komentar seperti ini 'Katanya, sakitnya suami isteri yang berpisah / berjauhan adalah melebihi 10 x lipat orang yang sedang patah hati'.


Terkadang, foto-foto teman bersama masing-masing pasangannya, yang muncul di beranda akun kami, menjadi hal yang sensi bagi kami. Bukan karena apa, hanya terkadang ada sedikit kecemburuan akan kebersamaan yang mungkin belum bisa kami rasakan saat ini. Lagi2 kami membuat kalimat penghibur 'Hal itu sudah menjadi biasa dilakukan banyak pasangan, apalagi pasangan baru. Sedangkan kita adalah pasangan baru yang tidak biasa, Extraordinary'. Sekali lagi, kami membuat kalimata penghibur hati.'

Belum lagi cerita suami, setiap kali menghadiri undangan, pertanyaan yang sering muncul adalah keberadaan isteri. Terlebih undangan yang sifatnya couple, Wedding invitation misalnya. Cerita suami tentang keinginan untuk segera berkumpul kembali, selalu memotivasi saya untuk berusaha lebih keras untuk segera memenuhi kewajiban dan tugas yang belum saya selesaikan.

Baik saya maupun suami, sama2 menyadari bahwa 'Berkumpul bersama' saat ini adalah barang mewah yang perlu kami perjuangkan. Selain kondisi kami yang masih terikat dengan kewajiban study dan pekerjaan, masih ada hal-hal lain yang perlu kami pertimbangkan, finansial salah satunya. Karena masih ada salah-salah yang lainnya.

Hidup di negara orang bukanlah hal mudah dan murah. Oleh karenanya, saya sadar betul, betapa hati-hatinya suami saya untuk mengajak saya bersamanya. Belum lagi perbedaan culture dan bahasa yang pasti tidak mudah bagi saya menerimanya, yang rupanya baru-baru ini saya sadari.

Tak hanya dibutuhkan kesabaran untuk berlayar dalam bahtera rumah tangga, tapi juga usaha dan doa yang tak pernah putus dari pengemudinya.

Satu Pagi Setelah Hari Raya Qurban

Seperti pagi , setiap pagi sekitar pukul 08.00 Wib, sebelum saya berangkat kerja, mbah Bilal datang ke rumah untuk mengambil sampah rumah. Sudah beberapa tahun, semenjak keluarga saya tinggal di komplek pesantren ini, kami mengandalkan urusan sampah kepada mbah Bilal. 

Mbah Bilal sebetulnya adalah salah seorang yang mengabdi di salah satu pesantren yang ada di sekitar tempat saya tinggal. Sudah bertahun-tahun beliau mengabdi di sana. Saat ini usianya mungkin sekitar 70-80an.

Hal yang tidak biasa pada pagi itu adalah karena pagi setelah hari raya idul Adha dengan pembicaraan yang bagi saya cukup mencambuk mulut saya sendiri. Kurang lebih inti pembicaraannya seperti ini.

saya: mbah, sarapan?
mbah: iya mau
saya: sudah nyate mbah?
mbah: sudah
saya: qurban ap mbah?
mbah: sapi
saya: wah hebat mbah, qurban di pesantren?
mbah: iya, lha saya ngumpulin uang merah-merah sampe 30 lembar. saya qurbannya di masjid.
saya: wah mantap, hebat e mbah. uangnya kok banyak?
mbah: lha ya saya tiap bulan ngumpulin uang merah 2 lembar kok.
saya: mbah kok gak qurban dipesantren?
mbah: lha saya kan hidupnya gak cuma di pesantren. jadi ya saya bagi. saya sukanya mau qurban dimana.

#jleb #jleb #jleb

Saya malu seketika.
Mbah bilal yang sudah sepuh (tua) masih dengan semangat berikhtiar bekerja sebagai pengambil sampah dan sesekali ikut sebagai kuli batu, mampu rutin berqurban.
Jika dilogika, berapa rupiah yang beliau dapatkan dengan pekerjaan dan fisik yang seperti itu.
Jika boleh saya jujur, saya tadi bertanya tidak sengaja, sebagai basa-basi sembari saya membungkuskan sarapan untuk beliau, yang biasa dilakukan ibu saya setiap harinya. Tapi ketidaksengajaan saya membuat saya tertampar. Ibroh yang luar biasa bagi saya dari Mbah Bilal.
Allahu 'alam

Long Distance Relation (LDR) - Sebagai Refleksi Seorang Istri

Menjalani Long Distance Relation (LDR) sebagai suami-istri bukanlah hal yg mudah buat saya. Terlebih saya dan suami terhitung pengantin baru, satu bulan pasca upacara ijab-qobul pernikahan kami. Jarak ribuan kilometer Jogja (Indonesia) - Istanbul (Turki) membuat saya harus menahan kerinduan saya dengan suami. Wajah suami semakin di pelupuk mata, manakala saya ditubi2 penatnya pekerjaan dan tesis yang belum terselesaikan.

Tersadar bahwa tak ada guna jika saya hanya bersedih, mungkin lebih bijak jika saya mengambil hikmahnya. Hikmah bahwa LDR telah mengajarkan saya, betapa berharganya kebersamaan yang tidak semua pasangan menyadarinya.

LDR telah membuat saya merasakan rindu yang menggebu disetiap pagi dan malam hari.

Dan LDR telah melatih saya untuk bersabar akan apa yang saya inginkan, karena memang tidak selamanya keinginan dapat dipenuhi
.
Satu hal yang menguatkan saya adalah suami saya sendiri. Suami yg selalu  mengingatkan saya tentang komitmen yang telah kami sepakati sebelum menikah dan tentang visi-misi untuk masa depan rumah tangga kami.

Senin, 28 Januari 2013

Kontribusi Generasi Muda Tiada Henti Untuk Negeri


Indonesia. Sebuah negara besar dengan wilayah yang luas. Sebuah negara yang potensial, memiliki sumber daya alam yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh negara lain, kekayaan darat maupun laut yang melimpah dan tanah yang subur. Tentu tidak salah pepatah yang berbunyi “Bukan kolam tapi lautan susu, tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman”. Tidak heran pula jika negeri ini disebut dengan negara maritim dan negara agraris. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi negeri ini juga kaya akan sumber daya manusia dan keragaman suku, agama, ras, adat, dan bahasa. keragaman tersebut tidak lantas menjadi perbedaan, melainkan sebagai aset dan kekayaan negara ini sendiri.
Namun sebagai mahluk sosial yang saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan yang lainnya, keragaman ini acap kali menjadi sebuah perbedaan tersendiri  bagi beberapa golongan yang berujung pada terjadinya konflik. Munculnya kerawanan dan potensi konflik karena adanya perbedaan pemahaman terhadap landasan terhadap masing-masing suku, agama.ras dan atau budaya. Hal ini yang kemudian menyebabkan pengikisan nilai-nilai keagamaan dan atau melemahnya rasa, paham, dan semangat kebangsaan. Hingga pada akhirnya kondisi yang seperti ini bisa memicu konflik antar umat  beragama  baik yang bersifat  horizontal maupun vertikal. Seperti yang tidak lama terjadi, adalah tentang penistaan agama yang menarik perhatian berbagai pihak. Bersamaan dengan munculnya sentimen-sentimen suku bangsa, agama, dan ras telah menantang pemikiran kerukunan itu sendiri, terutama dalam membangun masa depan hubungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan beragama yang lebih baik, terbuka, adil, dan demokratis. Permasalahan yang menyangkut hubungan  antar umat beragama di Indonesia belakangan ini memang sangat komplek.
Negeri ini membutuhkan sebuah generasi yang bisa membawa cahaya, yang bisa membawa keadilan, yang bisa membawa cinta, yang bisa membawa senyum, yang bisa merekatkan tanah yang retak, yang bisa mendamaikan orang-orang yang bertengkar. Itulah kita. Kita generasi muda. tipe generasi masa depan yang dibutuhkan oleh negara ini. Dan itulah yang kita usahakan saat ini sebagai generasi muda itu. Kita mungkin tidak terlalu pandai berkata-kata, berdebat, beretorika, dan seterusnya. Tetapi kita percaya bahwa setiap orang yang ada di wilayah ini mempunyai mata hati, mempunyai nurani dan menyaksikan dengan baik siapa tangan-tangan yang melemparkan dasinya, melempar jasnya, dan turun bekerja di lapangan. Semangat inilah yang ingin kita perjuangkan dan pertahankan.
Generasi Muda. Pemudalah yang berpotensi untuk itu, karena pemuda adalah simbol hati yang masih jernih sehingga memiliki niatan kuat, kejujuran yang memungkinkan untuk memiliki ketulusan dan keikhlasan dalam bebuat, serta kobaran semangat yang memungkinkan untuk bertindak dengan sungguh-sungguh dan penuh dengan pengorbanan.

Wudhu



 Fardhu Wudhu

1.      Niat
Adapun niat dibaca bersamaan dengan membasuh wajah
2.      Membasuh seluruh permukaan wajah dengan air suci satu kali. Adapun basuhan berikutnya itu bukan fardhu.
Batas wajah memanjang bagi wanita ialah dari tempat yang biasanya mulai ditumbuhi rambut pada dahi bagian atas sampai bagian dagu paling bawah. Wajib dibasuh juga kedua pelipis yang ada disebelah kiri-kanan kening dan bagian wajah yang ada dibawah cuping telinga.
3.      Membasuh kedua tangan sampai ke siku, satu kali secara merata. Adapun basuhan berikutnya itu bukan fardhu. Leku-lekuk kulit pada jari, ujung jari yang tertutup kuku yang panjang, semuanya harus terkena air.
4.      Mengusap kepala satu kali, adapun usapan selanjutnya itu bukan fardhu.
5.      Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, satu kali. Adapun basuhan berikutnya itu tidak fardhu.
6.      Tertib dalam mensucikan anggota tersebut menurut aturan
7.      Berturut-turut dalam mensucikan selruh anggota wudhu’.

Sunnah Wudhu’
1.      Berkumur
2.      Membersihkan hidung dengan cara menghirup air ke dalam hidung tiga kali, kecuali bagi yang berpuasa
3.      Menyemperotkan kembali air dari dalam hidung.
4.      Membaca basmalah ketika mulai berwudhu’
5.      Membasuh tangan sampai pergelangan dengan air suci.tiga kali
6.      Mengusap daun telinga, bagian luar maupun dalamnya, termasuk lubang telinga
7.      Menggunakan air yang baru dalam mengusap telinga.
8.      Menyela-nyelai jari-jari tangan dan kaki.
9.      Mendahulukan tangan dan kaki kanan daripada kiri
10.  Memulai dari bagian depan setiap anggota wudhu’
11.  Memperpanjang basuhan pada wajah dan juga  pada tangan dan kaki.
12.  Basuhan kedua dan ketiga setelah sempurnanya basuhan pertama
13.  Menghadap kiblat ketika berwudhu’
 Makruh Wudhu’
1.      Berbicara ketika berwudhu’
2.      Memukulkan air pada wajah ketika membasuh

Yang membatalkan Wudhu’
1. Adanya sesuatu yang keluar dari dalam perut melalui salah satu dari dua jalan kotoran.
2. Terjadinya peristiwa yang kadang-kadang mengakibatkan keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan kotoran, yakni hilang akal, baik karena meminum khamr, candu atau yang memabukkan, ataupun karena gila, pingsan, dan terkejut. Begitu juga dengan tidur.
3. menyentuh lawan jenis.

Senin, 24 Desember 2012

M. Nuh : Kongres IPNU IPPNU Harus Hasilkan Solusi Cerdas Bagi Permasalahan Bangsa


 
Dalam seminar “Pendidikan dan Daya Saing Global” pada kongres IPNU XVII dan Kongres IPPNU XVI Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI M Nuh menyatakan bahwa IPNU-IPPNU menjadi garda terdepan dan benteng di akhir dalam peranan generasi masa depan yang bisa diandalkan. Organisasi beranggotakan para pelajar ini diharapkan mampu memanfaatkan masa muda untuk aktif dalam berorganisasi sehingga mampu memberikan solusi cerdas bagi sejumlah persoalan di tanah air. Karena organisasi adalah guru yang paling mendukung kecerdasan.


Generasi cerdas menurut M. Nuh adalah generasi yang tanggap dan sanggup berpikir kreatif saat menghadapi masalah, yang mampu memberi solusi bagi persoalan, bukan mempersoalkan persoalan itu. Generasi yang cerdas adalah generasi yang menyelesaikan masalah dengan substantif dan dalam hal ini IPNU IPPNU pasti bisa. Pernyataan ini disampaikan untuk mendorong pelajar NU untuk menjadi model bagi pelajar Indonesia.


Nuh menganggap Republik Indonesia masih mengidap sejumlah masalah yang harus diselesaikan. Dalam dialog dengan peserta Kongres, Nuh menjawab pertanyan tentang seringnya kasus kecurangan dalam pelaksanaan ujian, baik itu ujian nasional maupun ujian Calon Pegawai Sipil (CPNS), bahwa persoalan negara dalam bidang pendidikan adalah masalah kemasyarakatan, dan itu letaknya adalah pada “kejujuran”.
Jika menyingung pesantren, beranikah Pondok Pesantren ketika menyelenggarakan  ujian nasional tanpa harus diawasi oleh pengawas. Jika hal tersebut mampu dipraktikkan, maka hal ini akan menjawab petanyaan tesebut.
Melalui kongres IPNU-IPPNU kali ini, Nuh menunggu jawaban, ide, dan solusi cerdas  dari para pelajar NU atas segala permasalahan yang ada, termasuk didalamnya adalah degradasi moral dan persoalan pendidikan.

“Atas pertanyaan tentang degradasi moral dan persoalan pendidikan, saya punya jawaban sendiri, Tapi saya tidak sampaikan di sini. Saya yakin bahwa Anda semua yang ada di sini memiliki jawaban yang jauh lebih baik dan lebih cerdas, karena Anda semua adalah orang-orang cerdas”, jelas beliau sebelum meninggalkan ruang seminar Kongres IPNU IPPNU.



Ibu Khofifah Mengajak Kader NU Untuk Melihat IPPNU Dari Kacamata Nahdlatul Ulama (NU)




Dalam mengisi seminar yang bertemakan “Kembangkan Semangat Berorganisasi di Kalangan Pelajar Putri untuk Indonesia Cerdas, Lincah dan Mandiri”, yang merupakan rangkaian acara Kongres IPPNU XVI, ibu Hj. Khofifah mengajak IPPNU untuk melihat IPPNU bukan dari kacamata IPPNU, melainkan dari kacamata NU. Karena NU dan Muslimat merupakan organisasi masyarakat, sedangkan IPPNU adalah kader militan NU. Artinya bahwa di dalam tubuh IPPNU terdapat linkage yang tidak pernah putus dalam menghadapi berbagai macam isu dan tantangan zaman.

Ketika salah seorang kader IPPNU bercerita tentang permasalahan yang dihadapinya, tentang pertanyaan dari masyarakat di lingkungannya yang menyatakan bahwa IPPNU tidak mempunyai peran ataupun arti dalam perubahan dan tidak mampu memberi materi (uang), beliau berpendapat bahwa keadaan ini adalah salah satu PR besar bagi IPPNU untuk menciptakan linkage.

IPPNU memang tidak bisa memberikan materi, tapi ippnu mampu memberikan cara bagaimana mendatangkan materi. Beliau memberikan contoh nyata tentang apa yang terjadi di Beijing, tepatnya di lembaga ‘Research Children Center’. Lembaga ini mampu merawat dan memberdayakan anak-anak jalanan dan terlantar dengan memberikan kegiatan dan pembelajaran yang produktif, salah satunya dengan pembuatan handicraft. Sebenarnya dalam prosesnya, anak-anak dapat belajar dan menyalurkan kreativitas tanpa membatasi waktu bermainnya, karena tanpa disadari, mereka merasa hanya sedang bermain. Ide yang seperti inilah yang diharapkan dapat dicetuskan oleh IPPNU. 

Di dalam era globalisasi ini IPPNU harus compatible secara institutional maupun individual. Materialisme dan hedonisme yang mewabah pada masyarakat, menjadi tantangan IPPNU untuk segara diatasi. Fenomena suatu daerah yang hampir mayoritas remaja putrinya menjual-belikan diri mereka sendiri untuk memenuhi hasrat sesaat kaum lelaki, adalah tanggung jawab besar bagi IPPNU. Nominal 50 ribu Rupiah yang digunakan untuk membeli pulsa, adalah salah satu dari alasan mengapa fenomena tersebut terjadi. Hal tersebut tentulah menyesakkan dada kita sebagai kader IPPNU.

Dengan berbagai permasalahan dan tantangan globalisasi, beliau mengajak IPPNU untuk fokus pada apa saja yang bisa dilakukan. “Kita mungkin tidak bisa memberikan ikan, tapi kita pasti bisa memberikan kolam, yakni dengan networking yang bisa kita jadikan kolam untuk mereka hasilkan ikan”, tegas beliau.